BREAKING NEWS
Deskripsi-Gambar

Problematika Sikap Tak Kooperatif Terdakwa Sebagai Hal Mempererat Pemidanaan


Oleh : Agung D. Syahputra

OPINI, Wartapembaharuan.co.id - Bilamana terdakwa tetap dengan sikapnya, maka tidak ada sanksi bagi terdakwa yang menolak menjawab demikian,(Selasa,10 Juni 2025) 

Pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, secara konseptual menandai lahirnya paradigma baru, bagaimana hukum acara pidana yang lekat dengan kajian dan kaidah pembuktian suatu peristiwa pidana, memandang kedudukan tersangka/terdakwa.

KUHAP saat ini, senyatanya telah membawa peralihan paradigma, dari masa inquisitoir masuk ke dalam era accusatoir. Hal ini terbukti, dari redaksional Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP yang lebih memilih menggunakan diksi keterangan terdakwa dan tidak menggunakan pengakuan terdakwa. Perbedaan frasa pengakuan, menjadi keterangan membawa konsekuensi mendalam, semula menempatkan tersangka/terdakwa, sebagai objek pemeriksaan, menjadi subjek pemeriksaan. 

Secara teori hukum, tentu ada perbedaan objek dengan subjek. Dalam era inquisitoir, aparat penegak hukum berfokus mengejar pengakuan tersangka/terdakwa, yang kala itu kedudukannya dipandang, sebagai objek pemeriksaan. Hal ini dikarenakan, objek diidentikkan sebagai barang, maka jika tersangka/terdakwa, tidak mengakui perbuatan yang dituduhkan, dipandang layak diperlakukan secara kasar. 

Saat ini, paradigma accusatoir yang diakomodir Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHP, tersangka/terdakwa dipandang sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Pemahaman ini, lebih mengakomodir prinsip perlindungan hak asasi manusia, yang ingin membebaskan siapapun dari segala macam bentuk intimidasi, baik fisik maupun psikis. Tidak dapat dibenarkan lagi, aparat penegak hukum melakukan kekerasan ataupun intimidasi, pada seseorang yang dituduh sebagai pelaku tindak pidana semata-mata, dengan misi untuk mengejar pengakuannya. 

Dalam konstruksi hukum cara pidana saat ini, tidaklah menjadi masalah tersangka/terdakwa tidak mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Hal itu, disebut hak ingkar, di mana oleh hukum diberikan melekat pada diri seseorang yang menyandang status sebagai terdakwa.

Dengan demikian, terdakwa harus dipandang berhak untuk menyampaikan keterangan apapun, yang ia anggap paling menguntungkan untuk dirinya, baginya. Terdakwa juga wajib dipandang mempunyai hak untuk menyangkal uraian-uraian dakwaan yang dikemukakan oleh penuntut umum. 

Keadaan itulah, yang dalam tataran teoritik dikenal dengan asas non self incrimination, menekankan terdakwa memiliki hak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan posisinya dalam persidangan. Asas non self incrimination dimaksud, ternyata bukan sebatas asas yang hanya dalam tataran teori hukum semata. Lebih dari itu, asas tersebut, dalam konstruksi Hukum Acara Pidana, dibumikan menjadi suatu hal yang sifatnya lebih konkret dan diakomodir dalam hukum positif yang melarang hakim untuk mengejar pengakuan terdakwa yang sedang disidangkan di hadapannya, sebagaimana ketentuan Pasal 175 KUHAP. 

Berdasarkan, ketentuan Pasal 175 KUHAP, sangat jelas terdakwa, boleh saja mengambil sikap tidak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Manakala keadaan ini terjadi, Hakim Tunggal/Majelis Hakim harus terlebih dahulu mencoba menganjurkan pada terdakwa, agar menjawab. Namun perlu ditegaskan, bilamana terdakwa tetap dengan sikapnya, maka tidak ada sanksi bagi terdakwa yang menolak menjawab demikian.

Pertimbangan hukum tentang keadaan yang memberatkan dan meringankan sebagai amanat undang-undang.

Setelah kita, mengetahui terdakwa dapat diam dan tidak mau memberikan keterangan, terdakwa dapat menyangkal semua perbuatan yang dituduhkan, dapat tidak mengakui semua dakwaan, namun sisi lain ada amanat undang-undang yang memerintahkan Hakim sebelum sampai pada amar putusan, mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan.

Setidaknya, ada dua ketentuan mengamanatkan pertimbangan yang meringankan dan memberatkan. Pertama Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, yang mengatur surat putusan pemidanaan itu, memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan, yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

Selanjutnya kedua, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Di titik ini menjadi menarik, bilamana mengkaji sikap terdakwa yang berbelit-belit/tidak kooperatif, sebagai hal yang memberatkan pemidanaan bagi terdakwa. Semua pihak rasanya wajib sadar, ketika orang dituduh melakukan kejahatan, maka secara insting, muncul naturalia sikap denial atau mengelak dituduh sebagai seorang penjahat.

Secara hukum, ketika seseorang didakwa sebagai pelaku perbuatan jahat, dirinya punya hak membantah dan menyangkal perbuatan, yang didakwakan. Sikap berbelit-belit, sikap yang tidak mau mengakui perbuatan yang didakwakan, sikap diam untuk mengelak menjawab pertanyaan biasanya, akan selalu  identik dan termasuk rumpun sikap, yang tidak kooperatif dari terdakwa. 

Menjadi contradictio in terminis rasanya, jika hukum memberikan ruang dan hak bagi terdakwa untuk mengingkari dakwaan yang dialamatkan kepadanya, namun saat terdakwa benar-benar menggunakan hak hukumnya itu, oleh aparat penegak penggunaan hak hukum terdakwa, justru dijadikan sebagai hal yang memberatkan pemidanaan bagi si terdakwa, karena dipandang tidak kooperatif. 

Di titik inilah, ada suatu paradigma subjektif yang harus dihindari, jangan sampai muncul stigma masyarakat awam hukum, bilamana sudah jadi tersangka/terdakwa harus mengaku saja, karena tidak mengaku, dapat membahayakan. Seandainya jaksa jengkel, karena terdakwa berbelit-belit akan dituntut berat atau hakimnya kesal, terdakwa tidak kooperati, akan diputus lebih berat. 

Stigma ini haruslah dihindari, karena senyatanya, secara teori pembuktian Hukum Acara Pidana, tidaklah menjadi masalah, kalaupun tersangka/terdakwa tidak mengaku atau tidak kooperatif. Tinggal hanya, aparat penegak hukum bekerja untuk memperkuat pembuktiannya dari alat bukti yang lain. Hal ini disebabkan, keterangan terdakwa bukanlah satu-satunya alat bukti. Masih ada alat bukti lain, sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dipandang dapat mengungkap kebenaran materiil, akan peristiwa yang sedang disidangkan.

Namun demikian, di sisi lain ada satu hal yang harus dipegang teguh penuntut umum dalam mengajukan tuntutan dan hakim menjatuhkan putusan wajib berpedoman secara objektif pada pembuktian persidangan. Sikap terdakwa, juga perlu dipertimbangkan, namun pertimbangan terhadap sikap terdakwa wajib beranjak dari serangkaian pembuktian yang ada dalam persidangan secara objektif, bukan dari stigma ataupun asumsi.

Di titik inilah, penulis menyarankan menempatkan sikap tidak kooperatif Terdakwa, secara lebih filosofis, daripada ansich menyebut terdakwa tidak kooperatif, sebagai alasan memperberat pemidanaan. 

Hakim patut untuk tidak memberikan keringanan hukum pada mereka yang tidak menyesali kesalahannya

Jika dari pembuktian yang ada, nyata dan terang-benderang adanya perbuatan pidana dan kesalahan, yang telah dilakukan terdakwa, namun terus menyangkal dan mengelak, sedangkan keyakinan hakim telah terbentuk dari pembuktian, terdakwa patut dijatuhi pemidanaan, secara filosofis menunjukkan terdakwa tidak pernah menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya.

Secara filosofis, hadirnya rasa penyesalan dalam diri seseorang, berasal dari kesadaran dirinya, telah melakukan suatu kesalahan dan kemudian penyesalan membawa konsekuensi pada kehendak batin dalam dirinya, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di kelak kemudian hari.

Pada keadaan diri seorang terdakwa yang konsisten tidak mengakui perbuatan yang didakwakan, tentu haruslah dipandang tidak terdapat rasa penyesalan dalam dirinya. Sebab tidaklah mungkin hadir penyesalan, kalau dirinya sendiri tegas-tegas menyatakan tidak merasa bersalah, setelah melalui dan menyaksikan sendiri seluruh rangkaian proses pembuktian. 

Kepada terdakwa yang tidak memiliki rasa penyesalan akan kejahatan sudah dilakukannya, rasanya dapatlah diterima, bilamana tidak diberikan keringanan hukuman. Terdakwa yang tidak memiliki rasa penyesalan, justru hukumannya patut diperberat, karena tetap terbuka probabilitas mengulangi kejahatannya kembali di kemudian hari. Sekali lagi, hal itu dikarenakan konsep penyesalan membawa konsekuensi, pada kehendak batin dalam dirinya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, di kemudian hari.

Upaya mencapai nilai kebenaran koherensi dalam setiap naskah putusan hakim.

Kebenaran koherensi pada pokoknya menyatakan suatu pernyataan itu dianggap benar, bilamana konsisten dan tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan lain yang dianggap benar sebelumnya.

Sejak 1981, Hukum Acara Pidana telah memberikan hak terdakwa untuk diam ataupun tidak mengakui perbuatan yang didakwakan, maka sudah sepatutnya agar memiliki nilai kebenaran koherensi, putusan hakim yang jatuh sesudah hadirnya KUHAP, tidak menjadikan sikap terdakwa yang tidak kooperatif, untuk memperberat pemidanaan/penghukuman bagi si terdakwa.


Dari redaksional, terdakwa bersikap berbelit-belit/tidak kooperatif dalam persidangan, menjadi redaksional sikap terdakwa yang terus-menerus, tidak mengakui perbuatan yang didakwakan, ketika keyakinan hakim terbentuk dari pembuktian, bahwa terdakwa patut dijatuhi pemidanaan.


Secara filosofis, menunjukkan terdakwa tidak pernah menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya, pada bagian pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan bukanlah sekedar perbedaan tulisan secara letterlijk semata. Hal dimaksud, melambangkan penghormatan Hak Asasi Manusia, yang ada dalam diri seorang terdakwa, karena miliki hak ingkar. Selain itu, melambangkan pula hakim dalam menjatuhkan putusannya, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Tteori kebenaran koherensi (coherence theory of truth).


Penulis: Agung D. Syahputra


Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image