Alm. Kanda Syukrinur: Organisatoris dan Akademis yang Sederhana Berkepribadian Teladan
Oleh: Muhammad Zikri (Alumni FAH UIN Ar-Raniry dan Kader Pelajar Islam Indonesia)
Allah SWT berfirman:
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan sesungguhnya pada hari kiamatlah diberikan dengan sempurna balasan amalan kalian.”(QS. Ali Imran: 185)
Ayat ini mengingatkan bahwa hidup bukan semata panjangnya umur atau tingginya jabatan, tetapi tentang “jejak kebaikan” yang kita tinggalkan. Sebagian manusia diberi anugerah oleh Allah untuk meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu.
Manusia yang mulia adalah ia yang kehadirannya sejak lahir dinanti dengan penuh harapan, dan kepergiannya kelak ditangisi karena kebaikan yang melekat dalam hati banyak orang. Kalimat ini terasa begitu tepat ketika kita berbicara tentang sosok Almarhum Kanda Syukrinur, seorang akademisi dan organisatoris yang kesederhanaannya menjadikannya teladan bagi banyak orang.
Sebagai akademisi, Drs. Syukrinur, M.LIS., tidak pernah memandang ilmu sebagai menara gading yang meninggikan dirinya dari masyarakat. Ia mengajar dengan hati, membimbing dengan kesabaran, dan menunjukkan bahwa intelektualitas tidak harus dibungkus dengan jarak sosial. Di ruang kelas maupun di luar perkuliahan, beliau hadir sebagai sosok yang rendah hati, penuh perhatian, dan tidak mempersulit.
Dalam perjalanan organisasi, Kanda Syukrinur ditempa dalam Pelajar Islam Indonesia (PII). Di masa ketika organisasi itu terpaksa bergerak secara bawah tanah akibat tekanan dan pembekuan oleh rezim Soeharto. Di tengah situasi yang penuh risiko itulah beliau belajar makna keberanian moral, keteguhan prinsip, serta disiplin gerakan. Dari ruang-ruang sunyi perjuangan itu terbentuk karakter kepemimpinannya: tegas tetapi tenang, kuat tanpa kasar, berprinsip namun tidak arogan.
Pengalaman panjang itu membentuk dirinya menjadi pribadi yang matang, bersahaja, dan senantiasa siap membantu tanpa menuntut balasan. Ia bukan orang yang mencari panggung; justru ia menjadi cahaya yang menerangi tanpa perlu terlihat. Tidak jarang beliau disepelekan oleh orang-orang yang kapasitas akademiknya dan kapasitas organisasinya justru sangat saya ragukan. Namun sikap beliau tetap teduh, tidak pernah membalas, dan tidak pernah menunjukkan sedikit pun rasa sakit hati. Sikap seperti itulah yang membuatnya semakin tampak besar di mata mereka yang mampu melihat dengan hati.
Walaupun begitu, tulisan ini bukan pertanda bahwa penulis adalah orang yang sangat dekat dengan beliau. Tidak. Namun waktu 10 tahun bukan waktu yang singkat untuk menyaksikan langsung keteladanan, cara beliau bersikap, menasihati, dan menjalani hidup dengan kesederhanaan yang menggetarkan hati, dan ada satu hal kecil yang tak pernah hilang dari ingatan: setiap kali bertemu, beliau hampir tidak pernah lupa menanyakan, “Sudah sampai mana tesis magisternya, dinda?”
Pertanyaan itu sederhana—sering disampaikan dengan senyum ringan dan nada penuh perhatian—namun justru di situlah letak kehangatannya. Seolah beliau ingin mengingatkan bahwa menuntut ilmu adalah amanah yang tak boleh ditinggalkan di tengah jalan.
Terkadang, dalam suasana penuh keakraban itu, saya menjawab atau bercanda dengan kapasitas ilmu yang masih sangat minim. Bahkan pernah, dengan nada santai khas Aceh, saya berkata:
“Na neuwo-neuwo lom u Lhong kanda lawet nyo?”
yang bermakna: “Ada pulang-pulang lagi ke Lhong, kanda?”(tempat kelahiran istri almarhum)
Namun ketika sampai di rumah, hati ini sering digelitik rasa tidak pantas. Seakan candaan itu terlalu ringan di hadapan seseorang yang begitu matang ilmunya dan begitu halus akhlaknya. Ada penyesalan kecil, bukan karena beliau pernah tersinggung, sebab beliau tidak pernah menunjukkan itu, melainkan karena saya sadar betapa besar hormat yang mestinya saya berikan kepada sosok sebijak beliau.
Kini, setelah beliau tiada, pertanyaan itu, senyum itu, dan candaan-candaan sederhana itu justru menjadi pengingat paling lembut: bahwa ada seseorang yang pernah peduli, pernah membimbing tanpa menggurui, dan pernah berharap agar saya tumbuh melalui ilmu dan adab. Ketika beliau wafat, banyak orang merasakan kehilangan yang tidak bisa diungkap dengan kata. Bukan karena jabatan atau popularitas, tetapi karena kebaikan yang ia tanam dalam hati banyak orang dan itulah ukuran kemuliaan seseorang. Ketika jejak hidupnya membuat manusia menundukkan kepala dan berdoa, bukan karena formalitas, tetapi karena rasa hormat yang lahir dari lubuk hati.
Salah satu nasihat yang paling membekas dari beliau—seorang dosen dengan kecerdasan emosional yang luar biasa—terucap saat saya sebagai Wakil Ketua Umum Senat Mahasiswa UIN Ar-Raniry dan aktif di paguyuban daerah:
“Kader PII tidak boleh bertentangan dengan Catur PII. Ingat, PII itu penyukses studi.”
Beliau sering mengulangnya dengan candaan yang justru terasa seperti tamparan lembut:
“Jangan sampai organisasi bikin kamu lupa jadwal bimbingan skripsi.”
Kalimat itu sederhana, tetapi menancap. Hingga hari ini, ia tetap menjadi pengingat yang tak pernah melonggar.
Alm. Kanda Syukrinur telah pergi, namun teladan hidupnya tetap tinggal. Kesederhanaannya mengajarkan bahwa ketokohan bukan soal panggung, tetapi soal keutuhan sikap. Ilmunya mengingatkan bahwa akademisi sejati bukan hanya cerdas, tetapi juga rendah hati. Dan perjalanan organisasinya menunjukkan bahwa keberanian tak selalu ditunjukkan dengan suara lantang, tetapi dengan keteguhan menjaga nilai.
Semoga Allah merahmati beliau dan menjadikan setiap kebaikannya sebagai amal jariyah yang terus mengalir.
