Dakwah Bukan Milik Penceramah Saja
Oleh Hadi Irfandi
OPINI, Wartapembaruan.co.id - “Tidak terasa, penampakan Ramadhan sudah di pelupuk mata—kurang dari seratus hari lagi.” Kalimat ini terdengar sederhana, tetapi selalu berhasil menampar sekaligus menyadarkan kita. Waktu bergerak cepat, tetapi kesiapan diri sering tertinggal jauh di belakang. Setiap memasuki hitungan menuju Bulan Suci, kita biasanya langsung memikirkan ibadah pribadi: memperbaiki bacaan Qur’an, menambah sedekah, atau menata kembali jadwal harian. Namun ada satu hal yang sering luput dari perhatian, padahal besar nilainya: peran kita dalam dakwah.
Selama ini banyak yang mengira dakwah adalah kerja para penceramah. Mereka yang berdiri di mimbar, berbicara di hadapan jamaah, atau mengisi kajian rutin. Padahal dakwah tidak sesempit itu. Islam membentangkan tanggung jawab dakwah kepada seluruh umatnya.
Al-Qur’an menegaskan, “Dan hendaklah di antara kalian terdapat umat yang menyeru kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran: 104). Ayat ini tidak menyebut profesi, tidak membatasi siapa yang boleh melakukannya. Yang disebut adalah umat yang artinya, kita semua.
Dakwah bukan hanya tentang berbicara tetapi upaya menghadirkan nilai Islam dalam cara hidup. Ada dakwah lewat teladan, ada dakwah lewat tulisan, ada dakwah lewat keputusan dalam pekerjaan, dan ada pula dakwah lewat media yang kini akrab dengan kehidupan kita: ruang digital.
Pada ayat yang lain, Allah mengarahkan tata cara menyampaikan dakwah.
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (TQS An-Nahl: 125).
Hikmah, ketenangan, dan cara yang baik menjadi prinsip dasar dakwah yang tidak pernah lekang oleh zaman.
Ruang Digital, Ladang Dakwah Baru
Budaya baru umat hari ini banyak terbentuk dari layar ponsel. Ratusan juta orang menghabiskan waktu di media sosial: membaca, berkomentar, mencari informasi, atau sekadar melihat apa yang sedang tren. Ruang ini bukan lagi pelengkap kehidupan namun ia sudah menjadi bagian dari keseharian.
Maka, wajar bila ruang digital menjadi ladang dakwah yang luas. Tidak semua orang mampu berdiri di depan banyak orang dan menyampaikan ceramah. Namun hampir semua orang —terutama anak muda— memegang ponsel dan aktif di media sosial. Di sinilah peluang dakwah terbuka selebar-lebarnya.
Sebuah unggahan sederhana dapat membawa manfaat besar. Seseorang yang pandai menulis dapat membuat catatan ringkas tentang akhlak. Mereka yang gemar membuat desain bisa menyebarkan kutipan Qur’an. Yang terbiasa membuat video pendek dapat memproduksi konten edukatif. Bahkan sekadar menyebarkan informasi yang benar pun sudah termasuk kontribusi.
Ruang digital adalah tempat di mana narasi saling bertarung. Ada konten yang membangun, tetapi ada pula yang merusak. Ada nilai yang menguatkan, tetapi ada juga yang mengaburkan identitas. Karena itu, kehadiran dakwah di media sosial bukan hanya penting—ia menjadi kebutuhan umat.
Yang disebut sebagian orang sebagai “jihad digital” sebenarnya tidak lebih dari kesungguhan untuk mengisi ruang digital dengan nilai Islam. Istilah “jihad” dalam oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yakni
“Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang, maupun dengan memberikan bantuan untuk perang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak pasukan perang, dan lain-lain.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 2/145).
Sepintas memang merujuk pada perang fisik dalam konteks tertentu. Namun istilah itu dalam dunia daring hari ini dapat pula bersifat majasi: menggambarkan kerja keras menyampaikan kebenaran.
Tentu saja, kerja keras itu dilakukan sesuai kemampuan yang dimiliki tiap muslim. Firman Allah SWT.
“Dan persiapkanlah untuk melawan mereka apa pun yang kamu mampu, baik berupa kekuatan maupun kuda perang yang dapat kamu gunakan untuk menakut-nakuti musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang tidak kamu kenal, tetapi Allah mengetahuinya. Dan apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu, dan kamu tidak akan dizalimi.” [TQS. Al-Anfaal: 60].
Remaja dan Tanggung Jawab Era Baru
Tidak dapat dipungkiri, generasi muda adalah pengguna utama media sosial. Mereka cepat mengikuti tren, dan mampu beradaptasi dengan teknologi. Inilah kekuatan besar yang bisa diarahkan menjadi kontribusi bagi umat.
Sayangnya, potensi ini sering habis untuk hal yang tidak memberi nilai. Banyak jam yang hilang tanpa sadar untuk hiburan yang tidak berdampak. Padahal ponsel yang dibeli dengan jerih payah orang tua mestinya menjadi alat bagi sesuatu yang lebih bernilai.
Remaja Muslim seharusnya tidak hanya menjadi penonton arus digital, tetapi ikut mengarahkan pembicaraan di dalamnya. Mereka bisa membuat konten singkat tentang akhlak, membagikan pengalaman berbuat baik, atau menyebarkan informasi Islam secara menyeluruh. Tidak harus sempurna. Namun yang penting bermanfaat, bertanggung jawab, dan mencerminkan identitas Muslim yang santun.
Dakwah di ruang digital tidak mengharuskan seseorang menjadi ahli. Yang dibutuhkan hanyalah niat untuk beribadah, rasa keikhlasan ketika melakukannya dan kehati-hatian.
Kita Semua Punya Peran
Menjelang Ramadhan, banyak orang berlomba memperbaiki ibadah pribadi. Itu baik, tetapi tidak cukup. Dakwah adalah bagian dari ibadah sosial yang tak boleh ditinggalkan. Jika kita tidak menyuarakan kebaikan, ruang itu akan terisi oleh suara lain yang belum tentu membawa manfaat.
Tugas kita bukan memenangkan perdebatan, tetapi menghadirkan nilai Islam dengan cara yang baik, tenang, dan dewasa. Tugas kita bukan memaksakan, tetapi mengajak. Tugas kita bukan menghakimi, tetapi memberi teladan.
Dakwah bukan pekerjaan elite. Ia adalah gerak bersama. Dan ketika semua ikut bergerak, barulah umat ini menjadi kuat—baik di dunia nyata maupun di ruang digital.
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh serta aktif mengisi media online dengan tulisannya seputar Dakwah Ideologis. "Dari membaca, revolusi berkobar" adalah mottonya.
