Akhir Tahun : Produktif Tapi Tetap Terjepit
Oleh : Hadi Irfandi
OPINI, Wartapembaruan.co.id - Setiap akhir tahun, ruang publik kita dipenuhi seruan yang terdengar akrab: upgrade diri, keluar dari zona nyaman, perbaiki mental, kerja lebih keras. Dari seminar motivasi, potongan podcast, sampai unggahan media sosial. Pesannya sederhana tapi menusuk. Kalau hidupmu belum berubah, berarti kamu yang kurang berusaha.
Masalahnya, narasi ini pelan-pelan membentuk ilusi. Kita seolah hidup di dunia yang sudah adil, dan satu-satunya yang perlu dibenahi hanyalah diri kita sendiri. Padahal faktanya, kita tidak kekurangan orang-orang yang mau berusaha. Anak muda hari ini rajin ikut pelatihan, membangun portofolio, belajar sampai larut malam. Banyak guru tetap mengajar dengan gaji pas-pasan. Pedagang kecil harus bertahan di sela sela himpitan harga bahan yang naik. Masyarakat kelas bawah bekerja keras bukan karena malas, tapi karena pilihan yang tersedia memang tidak banyak.
Jawabannya sederhana tapi jarang diucapkan: karena masalahnya bukan semata pada manusia, melainkan pada sistem yang menaungi mereka. Kapitalisme modern mahir mengalihkan beban. Ketika lapangan kerja sempit, individu disuruh meningkatkan skill. Ketika upah rendah, pekerja diminta bersabar. Ketika harga naik, rakyat diminta lebih hemat. Sistem gagal, tapi yang diminta beradaptasi selalu manusia.
Akhir tahun akhirnya berubah menjadi ritual pengulangan: mengganti kalender, menata ulang resolusi, tanpa pernah menyentuh akar persoalan. Kita sibuk mengevaluasi diri, tapi tidak pernah berani mengevaluasi arah peradaban.
Bagaimana Islam Memutus Akar Ketimpangan?
Islam sejak awal tidak memandang manusia sebagai satu-satunya sumber masalah. Al-Qur’an justru menegaskan bahwa kerusakan sering lahir dari aturan hidup yang salah arah. Allah SWT. berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia” (TQS. Ar-Rum (30) ayat 41).
Karena itu, Rasulullah ï·º tidak hanya membina akhlak sahabat secara personal, tetapi juga membangun tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang adil. Di masa Khilafah, pekerja tidak disuruh sekadar “bersabar dan upgrade skill” sementara negara cuci tangan. Negara bertanggung jawab menjamin upah layak, kebutuhan pokok, dan keamanan sosial. Begitulah Islam memotong masalah dari akarnya.
Hal ini tampak jelas dalam perhatian Islam terhadap ilmu dan literasi, yang tidak dibiarkan tumbuh secara personal melainkan negara juga hadir sebagai sistem yang membantu keselarasannya. Bukti nyatanya adalah berdirinya Baitul Hikmah pada masa Kekhilafahan Abbasiyah sebagai pusat literasi dan ilmu pengetahuan. Negara hadir penuh, membiayai penerjemahan, riset, dan pengembangan ilmu, hingga melahirkan ulama dan ilmuwan muslim yang produktif dan menjadi fondasi ilmu pengetahuan modern. Puncak keemasan ini terjadi di masa Khalifah Harun ar-Rasyid, menunjukkan bahwa kemajuan tidak lahir dari motivasi personal semata, tetapi dari sistem yang menjadikan ilmu sebagai tanggung jawab politik negara.
Dalam bidang ekonomi pun demikian. Islam memahami bahwa problem utama ekonomi bukan hanya produksi, melainkan bagaimana distribusi (penyaluran-red) kekayaan. Melimpahnya sumber daya tidak otomatis menghapus kemiskinan jika kekayaan hanya beredar di tangan segelintir orang. Kapitalisme, dengan mekanisme pasar sebagai satu-satunya alat distribusi, justru melanggengkan ketimpangan ini.
Islam menolak pola tersebut. Islam memang tidak menyamakan kepemilikan, tetapi memastikan kebutuhan primer setiap individu terpenuhi. Karena itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam setiap harta terdapat hak orang miskin, dan harta tidak boleh berputar di kalangan orang kaya saja. Firman Allah swt.:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian” (QS al-Hasyr [59] ayat 7).
Islam mengatur pasar agar bersih dari penimbunan dan penipuan, sekaligus menghadirkan mekanisme nonpasar seperti zakat, infak, dan peran aktif negara, agar mereka yang tersingkir dari pasar tetap hidup layak dan bermartabat. Di sinilah terlihat jelas bahwa Islam memastikan sistem memenuhi hak hidupnya.
Prinsip sistemik ini juga ditegakkan dalam hukum dan kekuasaan. Rasulullah ï·º melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya. Umar bin al-Khaththab ra. bahkan memeriksa harta para pejabat dan hakim sebelum dan sesudah menjabat. Jika ditemukan kelebihan yang tidak wajar, harta itu disita. Tujuannya bukan sekadar menghukum individu, tetapi menjaga sistem peradilan tetap bersih dan berpihak pada rakyat.
Ketika Islam diterapkan sebagai sistem yang utuh, negara tidak sekadar menyerukan semangat berprestasi, tetapi menyediakan infrastruktur nyata agar potensi manusia benar-benar tumbuh.
Sejarah mencatat, di bawah Khilafah, kemajuan ilmu, termasuk bidang medis, lahir dari dukungan politik negara. Kota-kota besar seperti Baghdad, Damaskus, Kairo, hingga Cordova memiliki rumah sakit kelas satu dengan layanan rawat inap dan rawat jalan yang dibiayai negara. Baghdad saja tercatat memiliki puluhan rumah sakit dan lebih dari seribu dokter. Bimaristan al-Mansuri di Kairo bahkan mampu merawat ribuan pasien dengan pelayanan manusiawi: makanan, obat, ruang tidur, hingga perawatan diberikan gratis. Negara juga tidak membiarkan warga desa tertinggal; apotek dan klinik keliling dikirim rutin untuk menjangkau wilayah terpencil.
Semua ini menunjukkan bahwa dalam sistem Islam, prestasi individu tidak lahir dari perjuangan sendirian, melainkan dari sistem yang secara sadar memikul tanggung jawab atas kesehatan, ilmu, dan martabat rakyatnya.
Semangat Baru, Aturan Lama: Apa Tidak Lelah?
Masalahnya hari ini, kita hidup dalam sistem sekuler yang terpisah dari aqidah. Dalam sistem seperti ini, solusi personal dan tambal-sulam kebijakan pasti gagal. Sebab nilai yang menopang kebijakan bertentangan dengan keadilan yang ingin dicapai. Selama kapitalisme tetap menjadi fondasi, pengembangan diri hanya akan menjadi alat agar manusia lebih tahan dieksploitasi.
Islam tidak menolak pengembangan diri. Islam justru mendorong ilmu, kerja keras, dan kedisiplinan. Tetapi Islam menolak menjadikan pengembangan diri sebagai penambal kerusakan sistem yang jebol. Ketika negara abai, lalu rakyat disuruh beradaptasi, di situlah kezaliman dilembagakan.
Akhir tahun seharusnya tidak hanya menjadi momentum memperbaiki diri, tetapi juga merenungkan sistem apa yang sedang kita biarkan mengatur hidup kita. Apakah sistem itu benar-benar menjamin keadilan? Atau justru terus menyalahkan individu atas kerusakan yang ia ciptakan sendiri?
Mungkin kejujuran paling pahit yang perlu kita akui di penghujung tahun ini adalah: kita tidak kekurangan motivasi, tetapi kekurangan keberanian untuk mengganti sistem yang rusak. Selama akar masalah dibiarkan, resolusi akan selalu berulang, dan luka sosial tak pernah sembuh.
Islam menawarkan lebih dari sekadar semangat baru. Islam menawarkan arah peradaban baru sekaligus sudah teruji yang outputnya adil, manusiawi, dan berpijak pada aqidah. Dan barangkali, itulah resolusi paling jujur yang perlu kita perjuangkan bersama.
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh serta aktif mengisi media online dengan tulisannya seputar Dakwah Ideologis. “Dari membaca, revolusi berkobar” adalah mottonya.

