RUPS-LB SPR dan Bayang-bayang Abuse of Power Plt Gubernur Riau

Ket, Foto : Ade Monchai, Direktur Eksekutif Satu Garis.
PEKANBARU, Wartapembaruan.co.id — Desakan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau SF Hariyanto agar PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) dinilai memiliki konsekuensi hukum.
Direktur Eksekutif Satu Garis, Ade Monchai, menilai langkah tersebut berpotensi melampaui kewenangan pejabat pelaksana tugas dan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
"Dalam perspektif hukum pemerintahan, kewenangan pelaksana tugas kepala daerah dibatasi secara tegas," ujar Ade Monchai, didampingi Sekretaris Eksekutif Satu Garis, Afrizal Amd CPLA, kepada sejumlah media, Selasa, 30 Desember 2025.
Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, keluarga, atau pihak lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Prinsip pembatasan tersebut diperkuat dalam ketentuan mengenai pejabat sementara dan pelaksana tugas yang hanya diperkenankan menjalankan tugas rutin pemerintahan," sebutnya.
Pembatasan kewenangan Plt juga ditegaskan dalam berbagai regulasi administrasi pemerintahan yang melarang pejabat sementara menetapkan kebijakan strategis yang berdampak luas terhadap organisasi, keuangan, dan arah kebijakan institusi.
"Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan pada masa transisi kepemimpinan," tegas Ade Monchai.
Di sisi lain, RUPS—termasuk RUPS-LB—merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi dalam perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Menurutnya, keputusan RUPS memiliki konsekuensi langsung terhadap struktur direksi dan komisaris, arah bisnis, serta kebijakan strategis perusahaan.
Ketentuan tersebut diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, yang menegaskan bahwa keputusan strategis BUMD harus didasarkan pada mekanisme korporasi yang sah dan bebas dari intervensi yang bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
"Karena itu, desakan percepatan RUPS-LB oleh pejabat berstatus Plt dinilai berpotensi menimbulkan persoalan hukum, khususnya jika keputusan yang dihasilkan menyentuh perubahan struktur manajemen atau arah kebijakan strategis SPR," pungkas Ade Monchai.
Polemik ini mencuat di tengah proses pembenahan internal SPR di bawah kepemimpinan Direktur Utama, Ida Yulita Susanti.
Sejak dilantik pada Agustus 2025, manajemen baru melakukan sejumlah langkah konsolidasi, termasuk relokasi kantor pusat dari Jakarta ke Pekanbaru serta penataan ulang manajemen internal.
SPR juga menyelesaikan konflik berkepanjangan dengan KCL. Dalam kesepakatan terbaru, utang SPR kepada KCL senilai Rp124 miliar dinyatakan selesai.
Pembagian Participating Interest (PI) yang sebelumnya 50:50 kini sepenuhnya menjadi hak SPR, disertai komitmen pembangunan kantor baru SPR dan tambahan signature bonus sebesar 1,45 juta dolar AS.
Sekretaris Eksekutif Satu Garis, Afrizal, menambahkan desakan RUPS-LB tersebut berpotensi melanggar prinsip hukum administrasi negara.
“RUPS-LB adalah keputusan strategis. Jika dorongan itu datang dari pejabat berstatus Plt, maka ada risiko pelampauan kewenangan. Ini berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan prinsip tata kelola BUMD,” kata Afrizal.
Ia juga mengingatkan bahwa Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara eksplisit melarang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan.
Penyalahgunaan wewenang dapat terjadi apabila pejabat bertindak melampaui kewenangan, mencampuradukkan kewenangan, atau bertindak sewenang-wenang.
Menurut Afrizal, apabila desakan RUPS-LB dilakukan tanpa dasar kewenangan yang sah, maka langkah tersebut berpotensi masuk dalam kategori pelanggaran administrasi pemerintahan dan dapat menjadi objek pengawasan aparat pengawas internal maupun penegak hukum.
Hingga berita ini diposting, Pemerintah Provinsi Riau belum memberikan keterangan resmi terkait dasar hukum desakan RUPS-LB SPR oleh pelaksana tugas gubernur. ***
Desakan Plt Gubernur Riau agar SPR menggelar RUPS-LB menuai sorotan hukum. Langkah itu dinilai berpotensi melampaui kewenangan dan abuse of power.
