Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Buruh yang tergabung dalam Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia bersama dengan Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) dan elemen buruh lainnya menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Rabu (20/11/2024).
Presiden Aspek Indonesia Muhamad Rusdi menyampaikan, salah satu tuntutan utama adalah meninjau kembali mekanisme kebijakan penetapan upah minimum 2025. Pasalnya, penetapan upah minimum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2023 tentang Pengupahan tidak berdasarkan pada survei kebutuhan hidup layak (KHL).
“Selama ini, mekanisme yang digunakan dalam penetapan upah minimum tidak didasarkan pada survei KHL, melainkan lebih mengandalkan indeks formula yang jauh dari kondisi riil kehidupan buruh,” kata Rusdi dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).
Menurutnya, pengembalian metode survei KHL dalam penetapan upah minimum merupakan langkah yang sangat penting. Dengan begitu, upah pekerja dapat mencerminkan kebutuhan hidup layak.
Untuk itu, pihaknya mendorong Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli untuk mengubah kebijakan pengupahan sebagai landasan penetapan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun depan.
Rusdi juga meminta, pemerintah segera memberlakukan kembali upah sektoral bagi sektor unggulan yang hilang akibat diberlakukannya kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal, upah sektoral dinilai sangat penting dalam menjaga daya beli pekerja di berbagai sektor.
Serikat Pekerja Minta Pemerintah Patuhi Putusan MK soal Komponen Upah
Dengan adanya perubahan formula dan diberlakukannya upah minimum sektoral, Rusdi mengharapkan kenaikan upah minimal bisa mencapai 10-15%.
“Harapannya bisa lebih dari nilai tersebut untuk mengangkat upah buruh yang jatuh dalam 10 tahun terakhir,” ujarnya.
Tuntutan lain yang turut disuarakan dalam aksi hari ini yakni mencabut Omnibus Law Cipta Kerja dan menggantinya dengan aturan ketenagakerjaan yang baru, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir Oktober 2024.
MK dalam putusannya menyarankan agar pembentukan Undang-undang Ketenagakerjaan dilakukan secara terpisah dan mengakomodasi berbagai peraturan dalam UU No. 13/2003 dalam klaster ketenagakerjaan, serta berbagai putusan MK terkait uji materi kedua undang-undang tersebut dalam waktu dua tahun, dengan melibatkan secara aktif partisipasi dari serikat pekerja/buruh.
Rusdi menilai, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan aspirasi buruh dan melibatkan partisipasi aktif dalam proses penyusunan undang-undang ketenagakerjaan yang baru.
“Semua ini agar kebijakan yang dihasilkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik dan adil bagi seluruh pekerja di Indonesia,” pungkasnya. (Azwar)