Wawancara Imajiner Bersama Pahlawan Nasional Mohammad Toha, “Menyalakan Kembali Api Lautan Integritas”
Oleh: Prana Rifsana
Bandung, Wartapembaruan.co.id - Peringatan peristiwa Bandung Lautan Api memang masih beberapa bulan lagi, namun entah mengapa Kang Parna meminta Ojek Online yang ia naiki untuk berhenti di Kawasan Monumen Bandung Lautan Api. Kang Parna lalu menuju tukang kopi kaki lima dan duduk di trotoar sambil menyeruput kopi dan menyalakan rokoknya sambil memandang ke monumen tersebut.
Bandung memang dikenal dunia bukan hanya karena keindahan alam dan udaranya yang sejuk, tetapi juga karena semangat heroiknya yang pernah membakar sejarah bangsa.
Peristiwa Bandung Lautan Api tahun 1946 adalah simbol keberanian warga Bandung yang rela mengorbankan rumah, harta, bahkan nyawa demi menjaga kehormatan bangsa. Saat itu, ribuan warga membakar kota mereka sendiri agar tidak jatuh ke tangan penjajah. Semangat itu menyalakan api perjuangan yang meluas ke seluruh nusantara — api kejujuran, harga diri, dan pengorbanan demi kepentingan bersama.
Namun, lebih dari tujuh dekade kemudian, Kang Parna menilai Bandung seperti kehilangan bara itu.
Di tengah gegap gempita pembangunan dan modernisasi pemerintahan, justru muncul deretan kasus korupsi yang menodai nama kota ini. Dari pejabat hingga ASN, dari proyek infrastruktur hingga pengadaan barang, satu per satu kasus muncul bak percikan api busuk dari bara yang salah arah.
Jika semangat Bandung Lautan Api adalah bentuk “pengorbanan demi rakyat”, maka maraknya korupsi hari ini adalah bentuk “pengorbanan rakyat demi kepentingan pribadi.” Sesal Kang Parna dalam hati sambil melempar kerikil kedepan (beruntung tidak ada orang didepannya). Pandangan tajam Kang Parna ke monumen itu membuatnya larut dalam lamunan dan masuk ke ruang imajiner.
Kang Parna disana bertemu seorang Pahlawan Nasional Mohammad Toha yang gugur ketika melakukan aksi heroik dengan meledakkan gudang amunisi milik tentara sekutu di Dayeuhkolot dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Lalu Kang Parna memberanikan diri untuk menghampirinya dan mengajukan beberapa pertanyaan.
Kang Parna : “Assalamualaikum Pak Toha, ijin saya mau mengajukan beberapa pertanyaan kepada bapak, jika berkenan”.
Mohammad Toha : “Waalaikumsalam, iya Jang, mangga, silahkan”.
Kang Parna : “Pak Toha, dulu Bandung dikenal sebagai simbol keberanian rakyat Indonesia melalui peristiwa Bandung Lautan Api. Tapi kini, kota ini sering dikaitkan dengan kasus korupsi pejabat. Apa yang Pak Toha rasakan melihat perubahan ini?”
Mohammad Toha tersenyum tipis mendengar pertanyaan Kang Parna
Mohammad Toha : “Dulu kami membakar Bandung agar kehormatan bangsa tidak jatuh ke tangan penjajah. Tapi kini, yang membakar Bandung adalah keserakahan sebagian anak bangsa sendiri. Bedanya, dulu api itu untuk mempertahankan harga diri. Sekarang, api korupsi membakar kepercayaan rakyat, Itu bukan kemajuan Kang, itu kemunduran moral”.
Kang Parna : “Sebagai pejuang dan pahlawan, Pak Toha dikenal disiplin dan teguh pada integritas. Bagaimana menurut Pak Toha cara menyalakan kembali semangat Bandung Lautan Api di tengah situasi moral seperti ini?”
Mohammad Toha: “Api perjuangan tidak selalu harus berupa senjata atau darah. Sekarang, perjuangan terbesar adalah melawan godaan korupsi dan ketidakjujuran. Jika dulu musuh kami memakai seragam tentara asing, kini musuh kalian bersembunyi dalam kerapian jas dan tanda jabatan. Menyalakan kembali semangat Bandung Lautan Api berarti berani membakar diri sendiri dari dalam — membakar keserakahan, membakar kebohongan, dan membakar kemalasan. Bangsa yang tidak berani jujur pada dirinya sendiri, tidak akan pernah benar-benar merdeka.”
Kang Parna : “Ada yang mengatakan, korupsi di Bandung ini sudah seperti budaya. Banyak yang apatis dan merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Apa tanggapan Pak Toha?”
Mohammad Toha: “Budaya itu hasil kebiasaan. Kalau rakyat terbiasa diam, pejabat terbiasa mencuri. Kalau rakyat terbiasa takut, pemimpin terbiasa berbuat semaunya. Bandung dulu tidak lahir dari diam — tapi dari perlawanan. Maka kalau ada yang bilang korupsi sudah menjadi budaya, saya jawab rubah budayanya! Bangun budaya baru, budaya malu, budaya tanggung jawab, budaya jujur. Itu juga perjuangan.
Kang Parna : “Sebagai seorang yang gugur demi bangsa, apa pesan Pak Toha untuk generasi muda Bandung hari ini?
Mohammad Toha: “Saya tidak minta kalian mati seperti kami dulu. Tapi saya minta kalian hidup dengan cara yang terhormat. Bangun Bandung bukan hanya dengan beton dan lampu warna-warni, tapi dengan kejujuran dan tanggung jawab. Kalau dulu kami membakar kota agar bangsa tidak dijajah, sekarang tugas kalian adalah membakar hati agar bangsa tidak rusak dari dalam. Ingat, api Bandung Lautan Api bukan hanya sejarah itu warisan moral. Jangan biarkan padam!.”
Kang Parna : “Terima kasih atas pesan yang begitu tajam, Pak Toha.”
Mohammad Toha: “Ingat satu hal, Kang. Negara bisa makmur tanpa emas, tapi tidak akan bertahan tanpa integritas. Kalau Bandung ingin kembali menjadi lautan, biarlah itu menjadi Lautan Kejujuran.”
Lalu Mohammad Toha berjalan menjauh, tinggal Kang Parna sendiri menyelesaikan catatan jawaban-jawaban dan pernyataan tadi di Handphone buatan Tiongkoknya itu. Dan lamunan itu terhenti oleh colekan Tukang Kopi yang meminta gelas dan pembayaran kopi hitamnya itu.
Tukang Kopi : “Kang, saya mau pulang, sebentar lagi hujan, rumah saya sering sekali kebanjiran, saya harus cepat cepat pulang”
Kang Parna lalu memberikan gelas dan membayarnya, lalu membuka aplikasi di Handphone-nya untuk memesan Ojek Online untuk kembali ke Kosan-nya. Sesampai Kos, Kang Parna mengingat kembali pertemuan imajinernya dengan Mohammad Toha. Memang dulu, rakyat berjuang dengan darah dan keringat agar Indonesia merdeka. Kini, sebagian pejabat justru berjuang agar rekeningnya bertambah.
Dulu, pemuda Bandung menolak penjajahan bangsa asing. Kini, sebagian aparatur justru menjerat rakyatnya sendiri dengan pungli dan manipulasi.
Menurut Kang Parna perubahan nilai ini tidak terjadi seketika. Ia lahir dari pergeseran budaya, dari pengorbanan ke kemewahan, dari perjuangan ke pencitraan. Bandung yang dulu dibakar demi kehormatan, kini “terbakar” oleh kerakusan sebagian oknum yang menjadikan jabatan sebagai alat memperkaya diri.
Kang Parna meyakini bahwa api itu belum benar-benar padam, masih banyak warga Bandung yang jujur, aparat yang tulus, dan komunitas yang terus menyalakan semangat integritas. Harus diciptakan kegiatan kegiatan penting untuk menghidupkan kembali semangat Bandung Lautan Api dalam konteks modern — melawan penjajahan moral bernama korupsi. Kota ini tidak butuh lagi api yang menghancurkan bangunan, tetapi api yang menerangi hati nurani. Hanya dengan begitu, Bandung bisa kembali menjadi “Lautan Api” — bukan karena amarah, tapi karena semangat moral yang menyala-nyala untuk Indonesia yang bersih. (Azwar)
