PARADE AROGANSI: UU Pers Jadi Alas Kaki di Polda Jambi, DPR RI Ikut Bungkam
Jambi, Wartapembaruan.co.id – Sebuah drama kelam demokrasi dipertontonkan secara vulgar di Markas Polda Jambi, Jumat (12/9/2025). Di hadapan publik, aparat kepolisian yang seharusnya menjadi penjaga hukum justru bertindak sebagai pelanggar hukum, sementara wakil rakyat di Komisi III DPR RI yang hadir di lokasi memilih diam seribu bahasa. Insiden pengusiran, pelarangan liputan, hingga intimidasi fisik terhadap jurnalis saat kunjungan Komisi III DPR RI kini dipandang sebagai bukti telanjang arogansi kekuasaan dan kemunduran demokrasi.
Aliansi Keadilan Bersama POLRI (AKBP) menyebut peristiwa itu sebagai “parade arogansi” yang tidak bisa disapu bersih dengan permintaan maaf basa-basi. “Kami menolak permintaan maaf Humas Polda Jambi. Itu bukan solusi, melainkan siasat untuk menutupi kegagalan kepemimpinan,” tegas Ketua AKBP Alion Meisen, Minggu (15/9/25).
“Nama kami Aliansi Keadilan Bersama POLRI, bukan melawan POLRI. Kami justru ingin Polri kembali profesional dan dipercaya rakyat. Tapi yang terjadi di Jambi adalah pengkhianatan terhadap semangat Presisi. Kapolda Jambi dan rombongan Komisi III DPR RI harus berhenti bersembunyi di balik permohonan maaf staf mereka,” tandas Alion.
Pelanggaran Berlapis: Hukum Dilecehkan di Markas Penegak Hukum
Peristiwa ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan kejahatan hukum berlapis yang mengoyak sendi negara hukum:
Pelanggaran Konstitusi – Tindakan aparat Polda Jambi mencederai Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk mencari dan menyampaikan informasi. Menghalangi kerja pers sama saja merampas hak rakyat untuk tahu.
Pelanggaran UU Pers – Pasal 4 ayat (3) UU Pers tegas menyatakan pers berhak mencari dan menyebarkan informasi. Pelanggaran pasal ini adalah tindak pidana, sebagaimana Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang mengancam pidana penjara 2 tahun atau denda Rp500 juta bagi “setiap orang” yang menghalangi kerja jurnalistik.
Kompromi DPR RI – Komisi III DPR RI, yang seharusnya menjadi pengawas Polri, gagal total. Diamnya para legislator saat pelanggaran berlangsung bukan hanya memalukan, tapi juga membuka jalan bagi impunitas aparat.
“Ketika pengawas ikut diam, pelanggaran berubah menjadi budaya,” kata Alion. “Hari ini di Jambi, besok bisa di seluruh Indonesia.”
Tuntutan AKBP: Hentikan Budaya Impunitas
AKBP menegaskan enam langkah konkret untuk memulihkan kepercayaan publik:
1. Kapolda Jambi dan Komisi III DPR RI Wajib Minta Maaf Terbuka – Bukan lewat staf, bukan lewat rilis, tetapi di hadapan publik nasional.
2. Investigasi Mabes Polri – Kapolri Jenderal Listyo Sigit diminta mengerahkan Divpropam Mabes Polri untuk menelusuri siapa pemberi perintah dan menindak hingga ke level perwira tinggi.
3. Surat Telegram Nasional – Kapolri harus mengeluarkan telegram kepada seluruh Kapolda agar melindungi, bukan menghalangi, kerja jurnalistik.
4. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) – Komisi III DPR RI diminta menggelar RDPU terbuka bersama Dewan Pers, organisasi pers, dan masyarakat sipil untuk mempertanggungjawabkan kelalaian mereka.
Jika dalam 7×24 jam tuntutan ini diabaikan, AKBP akan melangkah lebih jauh: melaporkan Kapolda Jambi ke Kompolnas, memanggil Komisi III ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan menggelar aksi jalanan.
Ujian Besar Kapolri dan DPR RI
Kasus Jambi kini menjadi tolak ukur keberanian Kapolri Listyo Sigit dan integritas Komisi III DPR RI. Apakah mereka akan menegakkan hukum yang mereka sendiri buat, atau membiarkan hukum dipermainkan di depan publik?
“Kepercayaan publik terhadap Polri dan DPR terlalu mahal untuk dikorbankan demi arogansi sesaat,” tegas Alion. “Kami tidak akan diam. Demokrasi bukan hadiah, tapi hak yang harus diperjuangkan.”
Kasus ini bukan hanya tentang Jambi, tetapi alarm nasional. Jika undang-undang bisa diinjak di markas kepolisian dan disaksikan langsung wakil rakyat tanpa perlawanan, siapa yang bisa menjamin kebebasan pers di tempat lain?
